Jakarta (terdidik.id) — Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang membatalkan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) tahun 2026 menuai kritik dari berbagai kalangan. Di tengah kontroversi tersebut, Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) bersama Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan gerakan Tolak Jadi Target meluncurkan buku berjudul Tobacco Control Economics (TCNomics) yang mengupas tuntas dampak sosial-ekonomi industri rokok di Indonesia.
Buku ini menghadirkan analisis berbasis data tentang kerugian ekonomi dan sosial akibat konsumsi rokok serta menawarkan peta jalan kebijakan cukai yang adil, transparan, dan berpihak pada masyarakat.
Ketua Umum IYCTC, Manik Marganamahendra, menegaskan bahwa publik kerap keliru memahami fungsi cukai.
“Cukai bukan pajak. Pajak berlaku umum, sedangkan cukai adalah instrumen untuk mengendalikan konsumsi barang berbahaya seperti rokok. Jadi, kenaikan cukai bukan sekadar mencari pendapatan, tetapi menjaga kesehatan publik dan mewujudkan keadilan sosial,” ujar Manik dalam peluncuran buku TCNomics yang digelar secara daring, Jumat, 3 September 2025.
Ia menilai pembatalan kenaikan cukai rokok menunjukkan kurangnya empati pemerintah terhadap isu kesehatan.
“Lebih dari 200 ribu orang meninggal setiap tahun akibat rokok. Ekonomi tidak bisa tumbuh jika masyarakatnya sakit atau mati prematur. Membela industri rokok tanpa melindungi petani dan buruh berarti membela oligarki,” tegasnya.
Mitos Rokok Penyelamat Ekonomi
Peneliti utama TCNomics, Risky Kusuma Hartono, menyebut narasi bahwa industri rokok menjadi penopang ekonomi adalah mitos.
Pada 2019, kerugian ekonomi akibat rokok mencapai Rp599,8 triliun, hampir empat kali lipat dari penerimaan cukai sebesar Rp163 triliun.
“Industri sering menonjolkan kontribusi penerimaan negara, padahal biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas akibat rokok jauh lebih besar,” jelas Risky.
Ia juga mengungkap bahwa pengeluaran untuk rokok meningkatkan risiko kemiskinan hingga 6%. Enam dari sepuluh rumah tangga Indonesia menghabiskan rata-rata 10,7% pendapatannya untuk rokok, lebih besar dari anggaran pangan bergizi.
TCNomics mencatat, jumlah perokok anak meningkat dari 7,2% (2013) menjadi 7,4% (2023), setara dengan 5,9 juta anak. “Kenaikan cukai yang tidak konsisten membuat generasi muda terus menjadi korban adiksi,” lanjut Risky.
Petani dan Rokok Ilegal
Peneliti lain, Astri Hanna Grace Waruwu, menyoroti kondisi petani tembakau dan isu rokok ilegal. Ia menyebut penurunan luas lahan tembakau dari 206 ribu hektar pada 2010 menjadi 118 ribu hektar pada 2023, disertai meningkatnya impor tembakau.
“Masalah petani bukan karena cukai naik, tapi karena industri lebih memilih tembakau impor. Solusinya adalah diversifikasi tanaman dan kebijakan yang melindungi petani,” kata Astri.
Ia menambahkan, narasi bahwa kenaikan cukai memicu rokok ilegal tidak terbukti.
“Masalahnya ada pada lemahnya pengawasan dan distribusi, bukan tarif. Dengan penegakan hukum yang konsisten, peredaran rokok ilegal justru bisa ditekan,” ujarnya.
Dampak Ekonomi dan Kesehatan
Menurut data TCNomics, beban biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok mencapai Rp17,9–27,7 triliun, dengan 58,6% ditanggung BPJS Kesehatan. Artinya, publik ikut menanggung kerugian akibat lemahnya regulasi fiskal.
Perwakilan Kementerian Keuangan, Sarno, menegaskan komitmen reformasi cukai sesuai RPJMN 2025–2029, termasuk simplifikasi struktur tarif dari 19 menjadi 8 layer serta optimalisasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
“Sejak 2021, realisasi DBHCHT selalu di atas 40%. Artinya, dana cukai benar-benar digunakan untuk kesehatan, kesejahteraan pekerja, dan penegakan hukum,” jelasnya.
Dorongan Transparansi dan Reformasi Fiskal
Ekonom Faisal Rahmanto Moeis menilai hasil kajian TCNomics memperkuat urgensi pengendalian konsumsi rokok.
Ia mengutip studi CISDI yang menyebut potensi penghematan Rp184–410 triliun per tahun (setara 1,16%–2,6% PDB) bila konsumsi rokok dapat ditekan.
Dari sisi tata kelola, Gurnadi Ridwan dari FITRA menekankan pentingnya transparansi dalam penggunaan DBHCHT agar tidak diselewengkan.
Sementara Krisna Puji Rahmayanti dari FIA Universitas Indonesia mengingatkan pentingnya sinkronisasi kebijakan publik dan konsistensi simplifikasi cukai agar sejalan dengan MPOWER measures WHO.
Kebijakan Cukai Progresif Jadi Kunci
Peluncuran TCNomics menegaskan bahwa reformasi cukai rokok tidak bisa ditunda. Kenaikan cukai bukan sekadar langkah fiskal, tetapi strategi untuk menyelamatkan generasi produktif, menekan kemiskinan, dan memperkuat sistem kesehatan nasional.
“Rokok bukan penyelamat ekonomi. Justru pengendalian konsumsi rokoklah yang bisa menghemat ratusan triliun rupiah dan memperkuat kesejahteraan masyarakat,” tutup Risky Kusuma.(**)

																						




