Lampung (terdidik.id) — Bertepatan dengan hari peringatan kemerdekaan Indonesia, Minggu, 17 Agustus kemarin, seribuan warga Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah menggelar perayaan. Bukan dengan parade baris berbaris atau pengibaran bendera pusaka, tapi dengan aksi tanam singkong.
Aksi tanam itu dilakukan di atas tanah yang sebelumnya mereka tanami dan menjadi sumber penghidupan. Menurut warga, lahan itu merupakan tanah adat yang telah dikelola secara turun temurun selama puluhan tahun. Sekarang tanah itu dikuasai dan dikelola oleh PT BSA, sebuah perusahaan pengolahan kelapa sawit.
Aksi berjalan damai tanpa terjadi gesekan baik dengan perusahaan atau pihak keamanan. Namun, menurut Kadiv Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, total 8 warga menerima surat panggilan sebagai saksi atas laporan LP/B/50/VIII/2025/SPKT/POLSEK Padang Ratu/POLRES Lampung Tengah pada sore hari pasca aksi.
“Tidak ada 24 jam pasca kegiatan masyarakat, surat pemanggilan sudah tiba di rumah warga pada sore harinya,” ungkapnya, Selasa, 19 Agustus 2025.
Ke delapan orang yang dipanggil merupakan warga dari 3 kampung di Kecamatan Anak Tuha yakni Kampung Bumi Aji, Negara Aji Baru, dan Negara Aji.
Saat menerima panggilan, diketahui laporan tersebut telah masuk tahap penyidikan. Sebuah proses yang sangat cepat menurut Prabowo dalam sebuah proses hukum, sebab menurutnya mesti ada proses penyelidikan dahulu sebelum sebuah kasus belanjut ke tahap penyidikan.
“Bagaimana penyidik dapat menaikan status penanganan laporan polisi ke tahap penyidikan sementara tidak adanya proses penyelidikan guna melihat sebuah peristiwa yang dilaporkan adalah sebuah tindak pidana atau bukan,” kata dia.
LBH Bandar Lampung menganggap tindak kepolisian sebagai tindakan Intimidasi dan upaya kriminalisasi warga yang sedang berjuang merebut haknya. Alih-alih hadir sebagai mediator, Polisi malah menyebut warga Anak Tuha sebagai provokator.
Pihaknya menegaskan konflik antara warga Anak Tuha dan PT BSA bukan persoalan hukum pidana, melainkan konflik struktural agraria. Terlebih persoalan itu telah terjadi bertahun-tahun dan pertama kali memuncak pada 2014. Lalu pada 2023 kembali terjadi perlawanan warga, namun hasilnya sama. Lagi-lagi warga gagal merebut kembali lahan yang mereka anggap tanah adat.
Menurut Prabowo, lenyelesaian konflik agraria di Anak Tuha haruslah dilakukan dengan cara yang baik melalui sarana dialog yang mengedepankan aspek keberimbangan bagi para pihak.
“Jangan Sampai negara kalah dengan kepentingan bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang, apalagi dengan mengorbankan rakyat kecil,” pungkasnya.
Pendekatan Dialogis Berbasis Keadilan Sosial
Akademisi Fisip Unila, Vincensius Soma Ferrer, konflik agraria di Anak Tuha hanya satu contoh bukti Indonesia masih mengalami defisit tata kelola agraria. Pemerintah cenderung menggunakan pendekatan pengamanan dengan mengerahkan aparat keamanan dalam setiap konflik agraria.
Padahal sudah jelas pendekatan tersebut gagal memberikan kepastian dan merugikan masyarakat adat di Kecamatan Anak Tuha. Hal itu tergambar dari peristiwa pada tahun 2014 dan 2023 yang tidak memberikan kepastian terhadap masyarakat yang dirugikan.
“Pengerahan aparat, deskriminasi, dan pembiaran seperti yang terjadi di Anak Tuha merupakan hal yang keliru dan harusnya diperbaiki oleh pemerintah setempat,” jelasnya.
Dalam persoalan konflik agraria mestinya pemerintah menggunakan pendekatan dialog yang berbasi keadilan sosial. Pemerintah bisa membentuk tim mediasi yang melibatkan pihak-pihak independen seperti Komnas HAM, Ombudsman, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.
“Ini bisa menjadi hal penting juga untuk menciptakan kepercayaan publik bahwa negara itu hadir sebagai penengah,” kata dia.
Vincensius Soma menambahkan, pemerintah juga mesti menggunakan pendekatan sosial ekonomi kepada masyarakat yang terlibat konflik. Sebab menurutnya tak cukup hanya memberikan ruang dialog dalam persoalan tersebut, masyarakat yang menjadi korban juga perlu jaminan sosial dan ekonomi.
“Jangan sampai mereka (masyarakat) malah dirugikan secara ekonomi dan sosial,” tutupnya.(*)