Bandar Lampung (terdidik.id) — Jumat, 22 Agustus 2025 menjadi malam ke-40 KH. M Imam Aziz wafat. Kiai khos pengasuh Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta sekaligus Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS). Saat wafat pada 12 Juli lalu usianya 63 tahun.
Di usianya yang senja itu, Imam Aziz tetap dekat dengan kalangan anak muda khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama. Tak heran banyak yang merasa kehilangan pria yang dikenal karena kesederhanaannya itu.
“Berpikir besar dan tampilan sederhana adalah dua hal yang melekat pada Mas Imam Aziz,” ungkap Warek II UIN Raden Intan Lampung, Prof Safari Daud saat menjadi pembicara kegiatan Membaca Keheningan KH Imam Aziz di Rumah Ideologi Klasika.
Menurutnya, pemikiran Islam yang digagas mengajarkan untuk selalu kritis dan membebaskan akal. Namun kebebasan akan yang diajarkan Imam Aziz tetap berpijak pada nilai-nilai keislaman yang tulus.
“Semakin sadar keagamaan, semakin tinggi kemanusiaan. Itulah perkawinan agama dengan ilmu-ilmu sosial,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Lampung Democracy Studies (LDS), Fatikhatul Khairiyah menyampaikan, Imam Aziz adalah sosok kiai yang memiliki kepekaan terhadap isu-isu sosial. Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah itu semasa hidupnya selalu menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat kecil.
“Mas Imam adalah sosok yang selalu gelisah melihat ketidakadilan. Kegelisahan itu bukan kelemahan, tetapi tanda kepekaan dan keberpihakan kepada mereka yang lemah,” ujar Ketua Fraksi PKB DPRD Lampung itu.
Menurut Khoir, pemikiran Imam Aziz layak diteladani dan diteruskan oleh anak-anak muda. “Dari beliau kita belajar bagaimana membangun nilai dan arah untuk masa depan,” katanya.
Menambahkan, Tokoh Nahdlatul Ulama Lampung, Khaidir Bujung, menyebut Imam Aziz sudah aktif dalam dunia aktivisme sejak usia muda dan tidak jarang menjadi pemimpin gerakan. Gerakan yang dipimpinnya selalu tegas berpihak kepada kelas masyarakat.
Meski dikenal sebagai sosok yang idealis dan tegas, pria yang pernah jadi Ketua Pelaksana Mukhtamar NU di Lampung tetap menunjukkan kesederhanaan yang membuatnya mudah diterima kalangan.
“Kesederhanaan itulah yang membuatnya begitu dekat dengan banyak kalangan, dari santri, aktivis, hingga masyarakat akar rumput,” ungkapnya.
Sementara itu, Chepry Chairuman Hutabarat, Founder KLASIKA, mengaitkan pemikiran Imam Aziz dengan filsafat Plato.
“Mas Imam mengajarkan bahwa manusia saling terhubung oleh kepentingan, namun selalu berlandaskan kebajikan,” ucapnya.
Dalam pandangan Plato, jiwa manusia terdiri dari logistikon (akal), thumoes (semangat), dan epithumia (hasrat). Mas Imam mengutamakan logistikon akal sehat dalam setiap gerak kemanusiaannya, namun tetap seimbang dengan keberanian dan kesederhanaan.
“Itulah mengapa kiprah beliau membumi sekaligus bernilai universal,” ungkapnya.
Chepry juga mengingatkan pandangan filsuf Jürgen Habermas tentang pentingnya aspek emansipatoris dari pengetahuan.
“Bagi Mas Imam, pengetahuan tidak berhenti pada aspek teknis, melainkan harus menjadi kegelisahan personal yang membebaskan dan memanusiakan,” katanya. (**)