Surat Terbuka untuk Wali Kota Bandar Lampung

Sudut Pandang33 Dilihat

Kepada yang terhormat Ibu Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana.

Bismillahirrahmanirrahim. Langsung saja ya, Bu. Saya meminta Ibu untuk menghentikan rencana Pemerintah Kota Bandar Lampung menggelontorkan dana Rp60 miliar untuk membangun gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung.

Rencana ini sungguh tidak benar. Sangat tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Kebijakan ini menyakiti rakyat.

Ini bukan yang pertama. Sudah berkali-kali pemerintah yang Ibu pimpin menggunakan puluhan miliar uang rakyat Bandar Lampung untuk membantu institusi vertikal—padahal mereka punya anggaran sendiri secara nasional yang saban tahun jumlahnya triliunan rupiah.

Sebelum ini, Ibu membantu rehab rumah dinas Danrem, juga pembangunan rumah dinas Kapolda Lampung yang tentu dananya pun miliaran rupiah. Pada 2024, Ibu mengguyur Rp50 miliar untuk keperluan gedung rumah sakit (RS) PTN Universitas Lampung. Ibu juga menganggarkan Rp75 miliar untuk pembangunan RS UIN Raden Intan.

Bu, uang puluhan miliar (total ratusan miliar) yang ibu bagikan ke lembaga-lembaga vertikal itu bukan jumlah yang sedikit. Itu bukan duit Ibu pribadi. Itu duit APBD. Itu duit rakyat. Dihimpun dari warga kota ini lewat pajak, retribusi, dan lain-lain. Itu duit keringat rakyat, dari orang kaya hingga rakyat jelata.

Karena itu tidak bisa seenaknya Ibu gunakan sesuai maunya Ibu saja. Tidak boleh dihabiskan suka-sukanya Ibu. APBD itu harus digunakan sebesar-besarnya untuk hajat hidup-kepentingan masyarakat Bandar Lampung.

Kalau sudah berkelebihan uang, dan semua urusan kota/warga beres, terpenuhi, tercukupi, mungkin bolehlah Ibu macam sinterklas tabur-tabur uang bantu “orang lain”.

Tapi kan Ibu tahu, saya tahu, kita sama-sama tahu, masih banyak masalah, urusan, pe-er di kota ini yang belum selesai dan perlu uang tidak sedikit untuk mengatasinya. Ibu pasti tahu. Karena kalau Ibu bilang tidak tahu, sungguh keterlaluan: ke mana saja Ibu selama ini!

Jalan rusak di mana-mana, Bu. Pergi saja sembarang Ibu ke penjuru kota, dengan mudah Ibu temukan lubang kecil-besar, menganga, bertebaran di jalan-jalan. Dari jalan utama, jalan kecil, jalan perkampungan, jalan perumahan, sampai ke gang-gang.

Jangan pula nanti Ibu berkelit: tidak semua jalan milik kota, ada juga jalan provinsi. Itu saya tahu, Bu. Makanya yang saya bahas ini jalan yang milik kota, jalan-jalan di bawah pengelolaan dan urusan Pemerintah Kota Bandar Lampung yang Ibu pimpin sejak 26 Februari 2021.

Soal jalan jelek ini sudah jadi rahasia umum, Bu. Jadi gosip di media sosial, gunjingan netizen lintas kota, kabupaten, provinsi. Orang-orang di luar sana tahu, Bu, jalan-jalan di Bandar Lampung, juga secara umum di Provinsi Lampung, jueleeek, bonyok di mana-mana.

“Kotanya indah, objek wisatanya banyak dan bagus-bagus, makanannya enak-enak, sayang jalannya jelek.” Begitu omongan orang di luar sana tentang Bandar Lampung, Bu.

Apa Ibu tidak malu? Apa Ibu mau bilang tidak tahu soal ini? Atau soal jalan jelek di Bandar Lampung itu hoaks belaka? Kebangetan, Bu.

Uang ratusan miliar yang Ibu bagi-bagi ke instansi vertikal itu lumayan banget kalau Ibu pakai untuk ngebagusin jalan. Memperbaiki dengan kualitas yang serius, berikut jalur airnya (drainase), supaya tidak gampang bonyok ditimpa hujan—bukan sekadar tembel-tembel yang jika dilintasi odong-odong saja langsung koyak lagi.

Ini baru satu soal, Bu: jalan. Beberapa waktu ke depan musim hujan datang lagi. Sekarang, Bu, kalau hujan sudah mulai deras, banyak warga Ibu was-was. Mereka tidak bisa tidur jika hujan turun malam hari. Karena sekarang bagi warga, hujan deras itu sama dengan banjir. Banyak kawasan yang dulu bebas banjir, sekarang justru jadi langganan banjir.

Jangan salahkan hujan, Bu. Hujan datang dari Tuhan. Manusia dikasih Tuhan akal untuk berpikir bagaimana caranya agar hujan yang merupakan anugerah tidak malah menjadi bencana (banjir).

Jangan pula semata-mata menyalahkan warga yang gemar buang sampah sembarangan. Perilaku buang sampah sembarangan itu jelas salah dan faktual, tapi itu satu hal. Hal-hal lain ialah perbaikan-pelebaran drainase, gorong-gorong, pengerukan-pelebaran sungai, perbaikan catchment area, pembersihan muara sungai dari sampah dan sedimentasi, dan lain sebagainya. Itu semua tugas pemerintah. Itu semua perlu uang, Bu.

Ahh, masih banyak, Bu. Ibu gembar gembor pendidikan gratis, tapi bertahun-tahun Ibu biarkan SMP negeri memungut uang komite sekolah. Pungutan yang untuk banyak orangtua siswa sangat memberatkan. SPP memang tidak ada, tapi ada uang komite sekolah yang rata-rata ratusan ribu per bulan. Ibu tahu nggak tentang ini? Kepala dinas pendidikannya kan adik Ibu?

Di media sosial, saya pernah bicara soal pungutan komite sekolah yang sejatinya melanggar undang-undang ini. Ada pihak yang menyatakan bahwa uang komite diperlukan untuk membayar gaji guru-guru honorer, biaya (pembelian-perawatan) AC, kegiatan kesiswaan dan banyak lainnya (yang sebenarnya sering tidak logis).

Nah, coba suruh anak buah Ibu hitung berapa sebenarnya kebutuhan dana untuk hal-hal di atas. Hitung yang real, tidak dibuat-buat, tidak mengada-ngada, dan tidak di-mark up, lalu gelontorkan uang APBD untuk itu. Rasanya cukup, Bu, uang puluhan miliar untuk mengkavernya. Kalaupun tidak bisa semua, setidaknya jitu untuk memutus dalih sekolah berhak memungut uang lewat komite.

Bu, kota ini semrawut. Padahal ia etalase-wajah Provinsi Lampung. Parkir sembarangan di mana-mana. Badan jalan banyak dipakai untuk parkir kendaraan. Pasar-pasar tradisonal kumuh, becek, bau, acak-acakan, tidak tertata.

Macet, aduh gila-gilaan, Bu. Nggak ada lagi jalur alternatif, semua jalur macet. Jam biasa macet, jam pulang-pergi kerja-sekolah lebih parah. Jangan-jangan Ibu tidak pernah merasakan macet karena sekadar untuk keluar-masuk kantor pun lalu lintas disetop biar kendaraan Ibu bisa lewat dengan lancar jaya.

Angkutan kota hampir tidak ada, Bu. Angkutan massal apalagi, zero. Nyaris semua orang naik kendaraan pribadi atau transportasi online. Volume jalan segitu-segitu saja, tapi volume kendaraan terus bertambah. Meledak pasti, Bu. Jika tidak ditangani, jika tidak dicarikan dari sekarang solusinya, beberapa tahun ke depan entah kayak apa macetnya kota ini. Atau mungkin Ibu malah bangga: macet itu tanda ini kota besar, indikator kota metropolitan. Hadeh.

Ruang terbuka hijau minim sekali, Bu. Padahal itu penting sekali bagi sebuah kota. Kalau tidak percaya tanya teman saya IB Ilham Malik—jagoan perencanaan kota, yang sekarang pikirannya justru dipakai Kantor Staf Presiden.

Kalau taman-taman yang seuprit, gersang, dengan hiasan patung-patung ala-ala tugu batas desa itu mah nggak usah dihitung, Bu. Masjid Al Bakrie yang sekarang jadi ikon baru kota dan punya ruang terbuka (belum hijau) itu kan juga bukan Ibu yang bangun.

Soal kesehatan juga tidak mulus-mulus amat seperti kampanye Ibu soal berobat gratis. Real-nya di bawah masih banyak berbagai masalah terkait pelayanan kesehatan warga, termasuk efektivitas jejeran ambulans yang diparkir di Tugu Adipura. Kalau Ibu tidak percaya, cek Bu. Cek sendiri. Jangan cuma terima laporan harum mewangi dari anak buah.

Aduh, masih banyak, Bu, masalah kota ini: sampah, sanitasi, penerangan jalan, akses-sarana air bersih, layanan administrasi kependudukan, kinerja ASN khususnya sektor-sektor layanan publik, buanyaaak.

Capek saya ngetiknya. Sudah kepanjangan juga surat ini. Saya khawatir Ibu malas membacanya. Pendek saja belum tentu dibaca, apalagi panjang-panjang. Kritik semua pula isinya.

Nah, seabrek masalah ini perlu ditangani semua. Itu tugas Ibu sebagai wali kota. Ini yang utama, bukan cuma hadir acara-acara peresmian, seremoni, dan hambur-hambur hadiah umrah.

Dan, semuanya perlu uang, Bu. Tidak sedikit perlunya. Banyak pakai banget. Jangankan puluhan atau ratusan miliar, triliunan juga belum tentu cukup, belum tentu memadai untuk mengentaskan semua masalah kota ini.

APBD kota ini belum berlebihan, Bu. Boro-boro berlebihan, LHP BPK RI tanggal 23 Mei 2025 menyatakan, APBD Bandar Lampung defisit Rp267 miliar, plus punya utang Rp276 miliar. Selama tiga tahun anggaran berturut-turut Pemkot Bandar Lampung juga mengalami ketidakcukupan dana untuk membiayai belanja daerah. Lah!

Ini ibarat orang sudah miskin, punya utang banyak, belanjanya lebih gede daripada pendapatan, ehh malah bagi-bagi duit ke orang kaya. Uang yang dibagi-bagi itu pun sebenarnya juga bukan duit dia.

So, wajar nggak, Bu, kalau saya mangkel. Apa menurut Ibu saya berlebihan menulis surat ini?

Sekali lagi mohon diperhatikan, Bu. Saya mengingatkan Ibu karena cinta. Bukan cinta sama Ibu. Tapi cinta kepada kota ini. Saya bukan siapa-siapa, Bu. Cuma warga biasa. Tapi saya sangat mencintai kota ini. Saya memang lahir dan kecil di Jakarta, tapi sudah 42 tahun lebih jadi warga Bandar Lampung. Bersekolah, besar, berkeluarga, cari makan di kota ini.

Saya ingin kota ini bagus. Rakyatnya sejahtera. Apa-apa gampang. Ke mana-mana mudah dan nyaman.

Saya tidak bilang Ibu tidak kerja sama sekali. Tapi yang Ibu kerjakan belum apa-apa. Kerja belum selesai, masih tangeh, Bu.

Saya tidak mewakili siapa-siapa. Ini suara, sikap dan pikiran saya pribadi. Tapi yakinlah Bu, ada banyak di kota ini yang sikap dan pikirannya sama dengan saya. Mungkin saja kebanyakan dari mereka hari ini belum bersuara. Masih memilih diam dalam kesal.

Tapi syukur alhamdulillah kan, Bu. Mumpung baru saya dan sedikit orang yang bersuara, cepat-cepatlah Ibu berubah. Segera hentikan hambur-hambur uang untuk “orang lain”, termasuk bikin proyek fisik nggak jelas manfaatnya macam Jembatan Siger yang ngabisin duit Rp20 miliar itu.

Alokasikan sebanyak-banyaknya untuk urusan-urusan yang saya sebut di atas, urusan-urusan yang langsung menyentuh hajat hidup orang banyak. Mereka warga Ibu, rakyat Ibu, yang suaranya mengantarkan Ibu ke kursi terhormat saat ini.

Tolong jangan abaikan suara rakyatmu ini, Bu. Meski sayup, meski tampak sedikit, ini adalah ekspresi keresahan. Belajarlah dari daerah-daerah lain. Rakyat sekarang semakin berani dan mudah tersulut. Kurangnya sensitivitas, pengabaian atas suara-suara, apalagi sikap arogansi, bisa mengubah keresahan individual menjadi kemarahan kolektif yang dapat berujung kerusakan yang tak pernah terbayangkan.

Bu, jabatan hanya sementara. Kuasa ada batasnya. Pada akhirnya tertinggal cerita dan kenangan. Bertanyalah kepada diri, cerita dan kenangan seperti apa yang hendak Ibu wariskan.

Tinggalkan legacy yang baik. Gunakan jabatan sebagai jalan memberi maslahat bagi sebanyak-banyaknya orang. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban, di hadapan manusia, di hadapan Tuhan.

Terima kasih, Bu Eva. Mohon maaf jika ada hal yang kurang berkenan. Semoga Ibu senantiasa sehat dan dimampukan untuk membawa kota ini menjadi lebih baik.

Kota Baru, 26 September 2025
Juwendra Asdiansyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *